Masyarakat Diminta Kurangi Pemakaian Plastik Sekali Pakai
GRESIK – PERPUSTAKAANSAMPAH.com – Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) mendorong masyarakat segera mengurangi pemakaian plastik sekali pakai. Hal ini diungkapkan lantaran Ecoton acap menemukan timbunan sampah di berbagai lokasi.
Direktur Ecoton Indonesia, Prigi Arisandi menyatakan, lembaganya bekerjasama, sejumlah komunitas telah mengamati fenomena sampah di Kota Gresik sejak awal 2020. Timbunan sampah mudah ditemukan, baik di pantai, sungai dan rawa. Lebih khusus di wilayah Bungah, Sidayu, Manyar, Pangkah-Benjeng, Balongpanggang, Wringinanom, Driyorejo dan Menganti.
“Dan (Pemkab) terlihat belum mampu mengelola sampah dengan baik,” ucap Prigi kepada republika.co.id, Jumat (25/9/2020).
Lebih rinci, ecoton banyak menemukan fenomena pembakaran sampah terbuka (open burning) di Gresik. Fenomena ini sebenarnya dilarang berdasar UU nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Pembakaran sampah akan menghasilkan senyawa dioksin dan furan yang bersifat karsinogen.
Selanjutnya pelayanan sampah di Gresik dilaporkan kurang dari 30 persen penduduk. Oleh sebab itu, banyak sampah ditemukan di sungai. Khususnya di. Bengawan Solo, Kali Brantas, Lamong dan Manyar.
Prigi juga mengungkapkan beberapa pemerintah desa yang padat penduduk telah banyak berinisiatif membuat tungku bakar. Pengadaan tungku ini bertujuan untuk membakar sampah di lingkungan masyarakat. “Padahal aktivitas bakar sampah jelas dilarang UU nomor 18 tahun 2008,” katanya.
Fakta selanjutnya, sekitar 60 sampai 70 persen sampah yang dihasilkan warga Gresik lebih pada jenis organik. Sampah ini setidaknya masih bisa diolah dan dikomposkan. Lalu 20 persen lainnya sampah yang bisa didaur ulang seperti kertas karton, kaleng dan plastik botol.
Berikutnya, 10 persen sampah yang dihasilkan masyarakat Gresik masih bisa digunakan kembali. Beberapa diantaranya seperti kayu, besi, kawat, kaleng dan sebagainya. “Sisanya sekitar 8 sampai 10 persen adalah sampah residu berupa sachet Karena tidak bisa didaur ulang.
Menurut Prigi, produsen yang menghasilkan sampah residu harus ikut bertanggung Jawab,”dalam UU nomor 18 tahun 2008, tanggung jawab ini disebut EPR Extended producen responsibility,” jelasnya. (republika.co.id)